Jumat, 08 Agustus 2008

Konsolidasi Politik Haus Kekuasaan

Ivanhoe Semen,
Ketua Pelaksana Harian
Pimpinan Kolektif Nasional Barisan Muda Pembaruan
(PLH PKN BM-PEMBARUAN)


Transisi demokrasi pada akhirnya menyimpulkan dua alternatif pertanyaan, pertama apakah transisi yang lahir dari rezim diktator mampu melahirkan konsolidasi demokrasi? Atau konsilidasi yang dibangun para elite politik dan segenap anak bangsa berhasil membawa stabilitas demokrasi yang efektif? Jangan-jangan di tengah ketidakpastian transisi demokrasi ini bakal membawa malapetaka baru. Sadar atau atau tidak problem ini menjadi persoalan yang rumit untuk dipecahkan. Keinginan untuk membangun clean and good governance (pemerintahan yang baik dan bersih) selama reformasi berlangsung tampaknya masih jauh dari yang diharapkan.

Pemberantasan korupsi saat ini, meskipun menjadi prioritas pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) hampir menunjukkan tanda-tanda kemajuan, sayangnya, gerakan pemberantasan korupsi masih tebang pilih, bahkan ada yang salah tebang. Jelas kondisi ini kian diperparah campur tangan urusan politik ke dalam hukum. Akhirnya hukum telah dinodai segelintir orang yang mempunyai kekuasaan atau pun modal. Ini tampak sekali dalam penanganan hukum akhir-akhir ini di Kejaksaan Agung yang dianggap lebih mementingkan proses politik pesanan ketimbang peran hukum.

Hukum bukan lagi berpihak pada keadilan yang harus ditegakkan, tetapi hukum telah dikomersialkan kepada orang-orang yang mempunyai kekuasaan. Begitu mudahnya mempermainkan hukum, hanya bermodalkan uang dan kekuasaan semuanya bisa beres. Tampaknya politik lah yang menjadi panglima, sedangkan hukum djadikan obyek untuk menjerat lawan politik. Jika ini terus dikedepankan sudah barang tentu menghancurkan tatanan konsolidasi demokrasi yang sedang dibangun.

Barangkali tidak tepat bila mengatakan negara ini sedang melakukan konsolidasi demokrasi. Bagi penulis lebih tepat dinyatakan sebagai konsolidasi para elite politik demi mencapai status quo. Mereka yang berkuasa cenderung ke arah sana. Institusionalisasi demokrasi hanyalah landasan berbangsa dan bernegara melalui keterbukaan ruang publik (public sphare) terhadap akses kebijakan politik. Dalam praktiknya, demokrasi telah membuka lebar oligarki politik (akses kekuasaan didominasi segelintir elite). Jika ini dibiarkan malapetaka demokrasi terus berlangsung. Sebab segala perangkat negara, seperti eksekutif, legislatif dan yudikatif dikuasai elite-elite politik yang bermental korup.

Prilaku politisi korup kian terlihat ciri khasnya, yakni melakukan manuver politik tanpa arah yang jelas. Bahkan bila perlu praktik Machevelli pun digunakan untuk mempertahankan kekuasaannya. Masih hangat di benak kita perseteruan elite politik yang berawal dari kesaksian tersangka korupsi dana non budgeter mantan menteri Departemen Kelautan dan Perikanan Rohmin Dahuri yang menyatakan semua pasangan presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2004 menerima dana DKP untuk kampanye, begitu juga permasalahan lumpur Lapindo yang sarat dengan konspirasi.

Perseteruan antara Presiden SBY dengan mantan wakil ketua DPR Zainal Maarif dan seabrek kasus lainnya telah memperlihatkan betapa elite politik lebih asyik menikmati akrobat yang mereka mainkan tanpa menyadari dampak negatifnya. Sementara kehidupan rakyat makin susah, harga bahan pokok bertambah naik, pengangguran terus terjadi. Dapat dilihat penyakit bangsa kita begitu kronis, semua serba tidak jelas, dan seakan dibuat tidak jelas oleh para pelakunya alias elite-elite politik. Belum lagi politik di Indonesia kini sudah terjangkit dengan kebiasaan “menyalahkan yang benar dan membenarkan yang salah”. Kesalahan mayoritas akan menjadi benar, sedangkan kebenaran yang hanya di usung oleh beberapa orang saja dianggap sebagai suatu kesalahan. Ironisnya hal tersebut dianggap lumrah bahkan wajar terjadi.

Perilaku elite politik yang demikian membuat arah politik makin tidak jelas alias ‘NOL’!!! Semuanya dibuat “seolah-olah berpartisipasi, dan seolah-olah mengkritik”. Padahal semua tidak ada artinya. Hal tersebut membuktikan hancurnya etika dan moralitas para elite politik. Kita masih jauh menikmati suasana politik yang damai dan berorientasi pada kepentingan bangsa dan negara. Warna politik kekinian selalu mempetontonkan kepentingan pribadi dan kelompok sebagai orientasi.

Melihat permasalahan bangsa tersebut, Partai Demkrasi Pembaruan (PDP) merupakan suatu jawaban untuk menyelesaikan problematika yang ada. PDP melalui sistem politik kolektif kolegial, gotong royong dan kompetensi sebagai sarat utama yang dimiliki seorang kader setidaknya mampu mengatasi persoalan bangsa ini. Konsep yang telah di telurkan oleh PDP tersebut harus dapat di implementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kader-kader PDP harus dapat mengubah paradigma masyarakat mengenai elit partai politik. Tidak harus dengan mengadakan pertemuan politik seperti yang terjadi di Medan dan Palembang, yang justru sangat sarat dengan kebohongan publik. PDP harus mempelopori pembaruan dalam tubuh partai politik, yang merupakan organ demokrasi untuk melakukan pendidikan politik masyarakat, serta dapat menelurkan politisi-politisi masa depan dengan mengambil pernyataan ketua PLH PKN PDP Bapak Roy BB Janis “Politisi yang elegan, santun dan bermartabat” dan bukan partai politik yang berisi “Gerombolan” preman berdasi yang haus akan kekuasaan.


Tidak ada komentar: