Jumat, 08 Agustus 2008

Dra. Hj. Noviantika Nasution, M.Si. niscaya bukan tokoh asing di pentas politik nasional. Seabrek jabatan prestisius ada di pundaknya. Namun, mengejutkan tatkala sahabat karib Mbak Mega di PDI Perjuangan ini mendadak menjadi lawan politik putri Bung Karno itu. ”Saya menjadi salah seorang pendiri dan pimpinan Kolektif Nasional sekaligus bendahara Partai Demokrasi Pembaruan (PDP),” ujarnya di sela kesibukannya menjadi pembicara seminar nasional ”Kiprah Perempuan Indonesia Dalam Pembangunan Bangsa”, Sabtu (22/12), di Hotel Bali Garden Kuta.



Stigma karib Mbak Mega memang sungguh kental melekat dalam aktivitas politiknya selama masih bernaung di bawah bendera Partai Banteng. Mbak Novi —panggilan akrab perempuan berdarah Batak kelahiran Jakarta, 4 November 1963— ini, hampir selalu berada di sisi Ketua Umum PDI Perjuangan tersebut di mana pun tampil di muka publik.

”Saya memang dulu dikenal orang dekat Mbak Mega. Tetapi, itu sudah berlalu. Sejak Kongres PDI Perjuangan di Sanur saya menyatakan mundur dari partai sekaligus wakil rakyat di DPR RI,” ujar mantan bendahara umum partai banteng bermoncong putih tersebut.

Ada cerita khusus yang menohok nuraninya di balik pilihan politiknya itu. Ia mengaku memang itu pilihan yang sangat berat. Maklum ia tercatat ikut jatuh bangun mendirikan partai ini.

Namun, dadanya terasa sesak saat kongres partai yang dulu dicintainya itu justru membidani kelahiran sejumlah ’bunglon’. ”Saat kongres di Sanur itu ada sementara tokoh partai yang bersikap tak terpuji seperti bunglon. Namun, partai tak mengambil tindakan apa-apa. Padahal, ini jelas merusak nama baik partai. Saya kecewa lalu memilih lebih baik mundur,” ungkapnya.

Langkah ekstremnya ini memang membawa konsekuensi politik serius. Pelbagai jabatan prestisius yang pernah disandangnya harus tanggal. Posisi bendahara umum partai sekaligus anggota Komisi X DPR RI di Senayan harus rela ditinggalkannya.

Namun, ini tak berlangsung lama. Bersama sekitar sejumlah pentolan PDI Perjuangan yang hengkang dari partai yang dipimpin Mbak Mega, mereka menggagas berdirinya Partai Demokrasi Pembaruan (PDP).

Selain Mbak Novi, ada pula Roy B.B. Janis, Laksamana Sukardi, Arifin Panigoro, Suko Waluyo, Didi Suprayitno, yang ikut membidani kelahiran partai baru ini. Semula istri Wisto Prihadi, S.E., M.M.A., ini duduk sebagai salah seorang pimpinan kolektif nasional.

Belakangan ia pun diserahi amanat sebagai ”menteri keuangan” partai.
”Saya yakin kelahiran PDP menjadi angin segar bagi pengikut PDI Perjuangan yang gerah dengan citra buruk partainya. Ini terbukti dengan tingginya respons publik menyambut kehadiran PDP,” ujar alumnus Fakultas Sastra Inggris UKI Jakarta ini.

Kehadirannya di Bali akhir-akhir ini bisa dihitung dengan jari. Ini gara-gara ia merasa trauma politik mengalami kenyataan pahit partai pascakongres PDI Perjuangan di Sanur dulu.

Namun, saat Kongres PB Persatuan Bola Basket Seluruh Indonesia (Perbasi) di Sanur belum lama ini ia digosok-gosok ikut menjadi peserta. Maklum ia dulu dikenal sebagai salah seorang pebasket andal.

”Saya tak bisa menolak ajakan teman-teman. Akhirnya saya ikut menjadi peserta. Namun, bukan hanya menjadi peserta, saya malah dipilih menjadi ketua umum PB Perbasi,” ujar Manajer Tim Nasional Bola Basket Putri SEA Games 2003 ini.

Kini ia sedang sumringah usai mengantarkan Tim Bola Basket Putra Indonesia menyabet medali perak dalam ajang SEA Games 2007 di Thailand.

Mbak Novi terbang dari Jakarta ke Bali kali ini guna ikut sebagai pembicara dalam seminar nasional menyambut peringatan Hari Ibu 2007 yang digelar PT Wahana Kreasi Promosindo. Ia menjadi narasumber bersama Ketua BKKBN Bali Dra. IGA Sri Astuti, M.S. dan aktivis gerakan perempuan dan anak Sita Van Bemelen.

”Melalui seminar ini saya mengingatkan pemerintah, wakil rakyat, maupun komponen masyarakat lainnnya agar jangan meremehkan persoalan yang mebebani kaum perempuan Indonesia,” ujarnya didampingi Bendahara Pelaksana Harian Pimpinan Kolektif PDP Bali, Lusia Dressler.

Ia mengungkapkan, segudang masalah sedang membelit kehidupan kaum perempuan di Tanah Air. Contoh, masalah yang terkait HIV/AIDS dan narkoba.

Di balik upaya penanggulangannya ternyata terungkap temuan, jumlah perempuan yang menjadi korbannya tak sedikit. Apalagi jika itu dikaitkan dengan dunia prostitusi. “Banyak perempuan yang terpaksa masuk ke dunia hitam ini,” katanya.

Namun, ia menolak jika kesalahan ditimpakan pada kaumnya itu.”Itu karena kemiskinan dan pendidikan yang rendah. Jika pemerintah tak salah urus soal ini niscaya program penanggulangannya tak sia-sia,” ujarnya.
Ia berkaca dari pengalamannya ke Thailand saat krismon dulu. Jalanan umum Kota Bangkok nyaris dijejali PSK, dewasa maupun anak-anak.

Namun, saat sekali waktu ia kembali berkunjung ke negara itu, kehidupan prostitusi jalanan telah berubah menjadi pusat kegiatan bisnis. ”Para PSK telah diberi pekerjaan baru.

Pemerintahnya berhasil mengatasi masalah kemiskinan yang melilit kaum perempuan. Ini seharusnya menjadi contoh bagi kita jika serius mau menanggulangi masalah kaum perempuan tadi,” tandas alumnus Studi Ilmu Politik Program Pascasarjana UI ini. —sam

Konsolidasi Politik Haus Kekuasaan

Ivanhoe Semen,
Ketua Pelaksana Harian
Pimpinan Kolektif Nasional Barisan Muda Pembaruan
(PLH PKN BM-PEMBARUAN)


Transisi demokrasi pada akhirnya menyimpulkan dua alternatif pertanyaan, pertama apakah transisi yang lahir dari rezim diktator mampu melahirkan konsolidasi demokrasi? Atau konsilidasi yang dibangun para elite politik dan segenap anak bangsa berhasil membawa stabilitas demokrasi yang efektif? Jangan-jangan di tengah ketidakpastian transisi demokrasi ini bakal membawa malapetaka baru. Sadar atau atau tidak problem ini menjadi persoalan yang rumit untuk dipecahkan. Keinginan untuk membangun clean and good governance (pemerintahan yang baik dan bersih) selama reformasi berlangsung tampaknya masih jauh dari yang diharapkan.

Pemberantasan korupsi saat ini, meskipun menjadi prioritas pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) hampir menunjukkan tanda-tanda kemajuan, sayangnya, gerakan pemberantasan korupsi masih tebang pilih, bahkan ada yang salah tebang. Jelas kondisi ini kian diperparah campur tangan urusan politik ke dalam hukum. Akhirnya hukum telah dinodai segelintir orang yang mempunyai kekuasaan atau pun modal. Ini tampak sekali dalam penanganan hukum akhir-akhir ini di Kejaksaan Agung yang dianggap lebih mementingkan proses politik pesanan ketimbang peran hukum.

Hukum bukan lagi berpihak pada keadilan yang harus ditegakkan, tetapi hukum telah dikomersialkan kepada orang-orang yang mempunyai kekuasaan. Begitu mudahnya mempermainkan hukum, hanya bermodalkan uang dan kekuasaan semuanya bisa beres. Tampaknya politik lah yang menjadi panglima, sedangkan hukum djadikan obyek untuk menjerat lawan politik. Jika ini terus dikedepankan sudah barang tentu menghancurkan tatanan konsolidasi demokrasi yang sedang dibangun.

Barangkali tidak tepat bila mengatakan negara ini sedang melakukan konsolidasi demokrasi. Bagi penulis lebih tepat dinyatakan sebagai konsolidasi para elite politik demi mencapai status quo. Mereka yang berkuasa cenderung ke arah sana. Institusionalisasi demokrasi hanyalah landasan berbangsa dan bernegara melalui keterbukaan ruang publik (public sphare) terhadap akses kebijakan politik. Dalam praktiknya, demokrasi telah membuka lebar oligarki politik (akses kekuasaan didominasi segelintir elite). Jika ini dibiarkan malapetaka demokrasi terus berlangsung. Sebab segala perangkat negara, seperti eksekutif, legislatif dan yudikatif dikuasai elite-elite politik yang bermental korup.

Prilaku politisi korup kian terlihat ciri khasnya, yakni melakukan manuver politik tanpa arah yang jelas. Bahkan bila perlu praktik Machevelli pun digunakan untuk mempertahankan kekuasaannya. Masih hangat di benak kita perseteruan elite politik yang berawal dari kesaksian tersangka korupsi dana non budgeter mantan menteri Departemen Kelautan dan Perikanan Rohmin Dahuri yang menyatakan semua pasangan presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2004 menerima dana DKP untuk kampanye, begitu juga permasalahan lumpur Lapindo yang sarat dengan konspirasi.

Perseteruan antara Presiden SBY dengan mantan wakil ketua DPR Zainal Maarif dan seabrek kasus lainnya telah memperlihatkan betapa elite politik lebih asyik menikmati akrobat yang mereka mainkan tanpa menyadari dampak negatifnya. Sementara kehidupan rakyat makin susah, harga bahan pokok bertambah naik, pengangguran terus terjadi. Dapat dilihat penyakit bangsa kita begitu kronis, semua serba tidak jelas, dan seakan dibuat tidak jelas oleh para pelakunya alias elite-elite politik. Belum lagi politik di Indonesia kini sudah terjangkit dengan kebiasaan “menyalahkan yang benar dan membenarkan yang salah”. Kesalahan mayoritas akan menjadi benar, sedangkan kebenaran yang hanya di usung oleh beberapa orang saja dianggap sebagai suatu kesalahan. Ironisnya hal tersebut dianggap lumrah bahkan wajar terjadi.

Perilaku elite politik yang demikian membuat arah politik makin tidak jelas alias ‘NOL’!!! Semuanya dibuat “seolah-olah berpartisipasi, dan seolah-olah mengkritik”. Padahal semua tidak ada artinya. Hal tersebut membuktikan hancurnya etika dan moralitas para elite politik. Kita masih jauh menikmati suasana politik yang damai dan berorientasi pada kepentingan bangsa dan negara. Warna politik kekinian selalu mempetontonkan kepentingan pribadi dan kelompok sebagai orientasi.

Melihat permasalahan bangsa tersebut, Partai Demkrasi Pembaruan (PDP) merupakan suatu jawaban untuk menyelesaikan problematika yang ada. PDP melalui sistem politik kolektif kolegial, gotong royong dan kompetensi sebagai sarat utama yang dimiliki seorang kader setidaknya mampu mengatasi persoalan bangsa ini. Konsep yang telah di telurkan oleh PDP tersebut harus dapat di implementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kader-kader PDP harus dapat mengubah paradigma masyarakat mengenai elit partai politik. Tidak harus dengan mengadakan pertemuan politik seperti yang terjadi di Medan dan Palembang, yang justru sangat sarat dengan kebohongan publik. PDP harus mempelopori pembaruan dalam tubuh partai politik, yang merupakan organ demokrasi untuk melakukan pendidikan politik masyarakat, serta dapat menelurkan politisi-politisi masa depan dengan mengambil pernyataan ketua PLH PKN PDP Bapak Roy BB Janis “Politisi yang elegan, santun dan bermartabat” dan bukan partai politik yang berisi “Gerombolan” preman berdasi yang haus akan kekuasaan.




Oleh :

Ir. H. Laksamana Sukardi,

Koordinator PKN PDP

Bismillahirrahmanirrahim.

Terima kasih kepada segenap Kolega Pembaruan yang telah dengan penuh hati berkhidmat kepada Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) yang bersama-sama sedang kita kembangkan agar menjadi rumah politik yang besar dan bermanfaat untuk bangsa dan negara. Syukur Alhamdulillah, kita juga telah selesai menyelenggarakan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) II PDP pada awal Agustus 2007. Rakernas II tersebut merupakan kelanjutan dari Rakernas I di Semarang pada Agustus 2006 lalu.

Rakernas I di Semarang merekomendasikan kepada kita semua untuk secara konsisten terus melakukan konsolidasi internal hingga seluruh kepengurusan terbentuk ke tingkat kelurahan/desa. Konsolidasi internal itu merupakan babakan awal menyiapkan PDP agar dapat melewati tahapan verfikasi menuju pintu gerbang pemilihan umum 2009.

Namun, seperti saudara-saudara ketahui, belum juga PDP yang kita cintai ini memasuki pintu pertamanya, “rayap,” “virus” dan berbagai penyakit akut dan manuhan menyelundup masuk. Mereka berdatangan, ada juga yang sengaja dikirim dari tempat lain agar menjadi duri di dalam partai kita. Seperti Kolega Pembaruan yang lain, saya pun tidak pernah rela menyaksikan PDP didera berbagai penyakit dari luar itu.

Ketahuilah, rayap datang dan virus dikirim karena mereka sudah mengetahui persis bahwa PDP kita ini sudah menjadi partai yang patut dipertimbangkan. Jika partai kita mengikuti pemilu, maka ada pihak yang terancam sehingga dengan berbagai cara mereka harus menghentikan PDP di tengah jalan. Termasuk dengan membuat kekacauan melalui para penyusup yang dibiayai. Ini bisa terjadi tidak hanya di PKN, di PKP, PKK hingga ke tingkat terbawah pun potensial dikerumuni ancaman rongrongan mereka.

Rayap-rayap itu dengan berbagai cara akan terus menggorogoti partai kita agar terus keropos lalu ambruk tanpa kita sadari. Mereka tidak pernah membangun rumah seperti yang kita lakukan bersama. Namun setelah rumah kita berdiri gagah seperti saat ini, mereka berdatangan dengan berbagai alasan. Ingat, rayap hanya datang untuk merobohkan PDP. Juga virus yang sengaja dimasukkan agar PDP layu sebelum berkembang, lalu mati di depan pintu gerbang sebelum sempat mengikuti verifikasi.

Itulah yang mereka kehendaki: PDP yang kita bangun dan kita cintai ini tidak dapat mengikuti verifikasi dan tidak dapat mengikuti pemilu sehingga segala jerih payah ini akan sia-sia. Kalau sampai semua itu terjadi, maka malapetaka akan menimpa ribuan kolega pembaruan yang sudah berpeluh-peluh dari Gerakan Pembaruan, hingga dapat melahirkan sebuah partai harapan ini.

Selama setahun lebih kita menjaga dan merawat partai ini dengan keringat dan pikiran kita sendiri, kemudian ada penyusup datang, lalu mengacak-acak dan menjadi pembajak mengatasnamakan partai, minta agar partai kita ini tidak diverifikasi. Apakah mereka yang menginginkan PDP tidak mengikuti pemilu itu yang akan mendiami rumah kita? Tidak. Tentu saja tidak. Kita harus basmi rayap dan sembuhkan penyakit. Jika diperlukan tindakan operasi lokal, maka demi kesehatan sekujur tubuh kita, pengamputasian pun harus dilakukan.

Kita ingin sebadan partai sehat sehingga di beberapa tempat yang masih ditemukan rayap dan virus, juga harus segera diatasi dengan seksama. Kalau dalam dunia kedokteran ada istilah amputasi, kita di PDP memilih menggunakan istilah kristalisasi. Kristalisasi artinya penjernihan. Yang kotor dipisah, yang keruh dibeningkan, sehingga yang tertinggal adalah yang benar-benar sejati PDP, PDP asli, murni, tidak terkontaminasi pengaruh buruk dari mana pun.

Ini semua dilakukan agar partai kita sehat dan dapat melaju cepat. Kalau sudah demikian, maka partai kita yang sudah dinyatakan Depkum dan HAM RI sebagai partai baru paling lengkap persyaratan administrasinya ini, pasti lolos verifikasi dan memenangi pemilu. Untuk menuju ke arah itu, saya yakin, kita tinggal butuh selangkah lagi.

Kita patut bersyukur, bahwa proses kristalisasi ini terjadi lebih awal. Tidak dapat dibayangkan kita telah mengikuti pemilu dengan virus dan rayap yang masih ada di dalam PDP.

Selamat berkhidmat kepada rakyat melalui PDP. Semoga Allah, Tuhan meridlai kita. Merdeka! PDP Pasti Jaya!